Rabu, 10 Juli 2013

Nikmat Ukhuwah

     Perang Yarmuk berkecamuk dahsyat. Ikrimah terluka sangat parah saat itu. Darah mengalir deras, tergeletak di bawah terik matahari yang sangat panas. Haus yang sangat luar biasa, badan lemas tak berdaya. Ditawarkanlah air minum kepadanya oleh sebagian pasukan kaum muslimin. Tetapi ia menolak bukan karena tidak butuh, tetapi ia melihat ada saudaranya yang juga terluka. Ia pun menyuruh untuk memberikan air minum kepada saudaranya yang nampak sangat kehausan.
     Dibawalah air minum tersebut kepada orang kedua. Orang ini pun menolak. Bukan karena tidak butuh pula, bahkan seolah-olah tenggorokan terasa hampa. Tetapi, demi melihat saudaranya orang ketiga yang juga terluka yang ia rasa lebih membutuhkan, ia pun menyuruh untuk mendahulukan orang yang ketiga ini. Subhanallah, orang yang ketiga inipun menolak dengan alasan yang sama. Ia melihat Ikrimah lebih membutuhkan air minum yang sangat terbatas itu.
     Dibawalah air minum itu kepada Ikrimah, orang pertama yag ditawari. Namun terlambat, Ikrimah telah tiada, menghadap Rabbnya, Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang ini bergegas segera kepada orang kedua. Ia pun telah menutup mata untuk selama-lamanya, syahid di medan laga. Didatangilah orang ketiga, ia pun telah menyusul dua sahabatnya. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semua.
     Pembaca, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjaga kita semua, kisah di atas adalah sekelumit gambaran persaudaraan para shahabat yang sangat indah. Mereka rela memberikan apa yang ia butuhkan untuk saudaranya seiman. Kisah-kisah antara Muhajirin dan Anshar pun merupakan fakta bahwa cinta kepada saudara telah menjadikan mereka seolah tidak butuh terhadap dunia. Memberikan apa yang mereka punya tanpa ada rasa berat dan berlapang dada. Oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa ta’ala memuji kuatnya persaudaraan mereka ini dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)
     “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dijauhkan dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. Al-Hasyr: 9]
     Para pembaca yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala...
   Islam adalah agama persaudaraan, agama kasih sayang. Islam sangat menjunjung tinggi ukhuwah dan persatuan. Bahkan dalam satu ayat secara khusus, Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan nikmat Ukhuwah Islamiyah ini, setelah perintah untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya serta berpegang dengan tali Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٠٢)وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا  ...(١٠٣)
     “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” [QS. Ali Imran: 102-103]
     Allah Subhanahu wa ta’ala-lah yang menggerakkan hati untuk saling memahami, menerima, kemudian mencintai saudara seiman. Allah Subhanahu wa ta’ala-lah yang meringankan anggota badan untuk membantu, berbagi, dan mencurahkan empati. Maka terwujudlah kemaslahatan bersama di dunia dan akhirat dari ukhuwah yang erat. Tanpa Ukhuwah Islamiyah –setelah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala tentunya- tidak akan mungkin ada Muhajirin dan Anshar, kisah ‘Ikrimah radhiyallahu ‘anhu’, hilang pula saling nasehat, tolong-menolong dan gotong-royong dalam ketaqwaan, tidak ada saling mengunjungi, tidak ada pula salam, ucapan doa ‘Barakallahufik’ (semoga Allah Subhanahu wa ta’ala melimpahkan barakah kepadamu), ‘uhibbuka fillah’ (aku mencintaimu karena Allah), dan sebagainya.
    Pembaca yang berbahagia, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ 
     “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” [QS. Al-Hujurat: 10]. Yakni, saudara yang ia inginkan segala kebaikan untuknya, sebagaimana ia ingin kebaikan tersebut untuk dirinya. Saudara yang ia benci segala kejelekan  menimpanya, sebagaimana ia benci kejelekan tersebut menimpa dirinya. Dengan ukhuwah islamiyah inilah, ketika kita dalam kesusahan dan kesempitan, saudara kita ikut merasakan apa yang kita derita, membantu dengan apa yang mereka punya. Ketika kita tidak bersemangat, banyak lalai, mereka akan mengingatkan dan mendorong kita untuk kembali beramal dan berkarya, ketika kita terkena musibah, mereka akan menghibur. Dengan ukhuwah islamiyah, kita akan saling berlapang dada ketika menghadapi sengketa, saling memaafkan terhadap kesalahan yang ada, selalu berusaha menghilangkan hasad dan buruk sangka. Masya Allah, begitu indahnya persaudaraan dalam Islam.
     Semakin kuat ukhuwah islamiyah, akan semakin tegak pilar-pilar agama. Shalat berjamaah, zakat fitrah, haji, sedekah, jihad, dan hampir semua bagian agama ini tidak bisa terwujud tanpa ukhuwah. Ya, tidak akan tegak shalat berjamaah ketika sesama kaum muslimin saling bermusuhan, tidak akan ada pula shalat jenazah, sedekah, dan yang lainnya.
     Bukankah daulah islamiyah, pemerintah muslim, sebagai konsentrasi pengaturan maslahat dunia dan akhirat bagi kaum muslimin secara umum, terbentuk dengan jalinan ukhuwah islamiyah? Maka ukhuwah islamiyah adalah nikmat yang sangat besar bagi manusia. Nikmat yang tidak saja Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk mewujudkannya, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala tekankan. Banyaknya perintah untuk merajut ukhuwah, dan sebaliknya, tidak sedikitnya larangan dari perpecahan cukuplah sebagai bukti betapa tingginya kedudukan ukhuwah islamiyah dalam agama kita. Jadi, sekali lagi, persaudaraan yang terbangun di atas agama ini adalah nikmat yang tak ternilai dengan dunia seisinya.
Allahu a’lam.

Maroji’: Majalah Tashfiyah edisi 10 vol.01 1432H-2011M

Jumat, 10 Mei 2013

Jangan Mengeluh

Mencari rezeki adalah pintu-pintu pahala bagi seorang muslim. Peluh keringat capeknya bekerja keras adalah keutamaan baginya. Betapa tidak, jangankan letih yang dirasa, gundah yang kadang datang pun merupakan penghapus dosa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira ini dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, "Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa capek, sakit, gundah, kesedihan, gangguan, gelisah bahkan duri yang mengenainya kecuali Allah gugurkan dengan sebab itu kesalahan-kesalahannya." [HR. Bukhari]

Apalagi ketika disertai sikap sabar, pahalanya akan semakin besar dan berlipat. Ibnul Qayyim mengatakan, "Sesungguhnya balasan yang didapat karena musibah yang dialami adalah dihapuskannya dosa-dosa saja, kecuali ketika musibah tersebut sebagai sebab amal shalih seperti sabar, ridha, taubat dan istighfar, maka ia akan mendapatkan pahala dari amalan shalih yang dilakukan dalam menyikapi musibah tersebut". [dinukilkan dari Fathul Majid]

Di antara bentuk sabar adalah tidak mengatakan 'seandainya', ketika Allah menunda keberhasilannya dalam usaha, karena hal ini akan membuka pintu syaithan untuk ikut campur dan memperkeruh masalah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda, "Apabila kalian tertimpa sesuatu, jangan katakan, 'Seandainya saya melakukan ini, tentu hasilnya akan demikian dan demikian', tetapi katakan, 'qadarallahu wamaa syaa fa'ala (Allah telah menakdirkannya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan Allah kerjakan)', karena ucapan 'seandainya' akan membuka pintu bagi syaithan." [HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]

Penyesalan semacam ini hanya akan menambah beban masalah, menyebabkan patah semangat dan malas bekerja. Apalagi ketika syaithan mengambil kesempatan ini, maka tauhidnya akan digerogoti. Karena kata-kata ini menunjukkan adab yang jelek terhadap Allah dan takdir-Nya, seolah-olah sanggahan yang mengandung penentangan terhadap takdir Allah dan lemahnya keimanan orang tersebut terhadap qadha' dan qadar.
Seorang mukmin akan tetap yakin bahwa apapun hasil usaha yang didapat, itulah yang terbaik baginya, karena semuanya atas kehendak Allah Yang Maha Dermawan lagi Maha Bijaksana.

Allah pilihkan yang paling bermanfaat baginya, sehingga akan selalu bersyukur atas karunia-Nya, senantiasa tumbuh tawakal kepada-Nya, tetap optimis setelah diserahkan kepada-Nya kemudian bangkit dan berusaha kembali.

Sangat wajar, kesedihan itu ada, kegalauan muncul ketika usaha kerasnya belum membuahkan hasil, tetapi seorang mukmin akan mengembalikannya kepada Allah, mengadu dan memohon solusi kepada-Nya, ridha dengan qadha' dan taqdir Allah.

Setelah bersungguh-sungguh dalam mendapatkan kemaslahatan, kemudian mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan jangan beranggapan bahwa hal ini hanya karena strategi yang salah. Tetapi justru seharusnya dia menerima ketetapan Allah, bertambah keimanannya, tenang hati dan jiwanya.

Solusi sikap yang diberikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah sebab terbesar untuk mendapatkan kedamaian hati dan sifat qona'ah (merasa cukup). Dan inilah keberuntungan yang hakiki sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan, "Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi kecukupan rezeki dan merasa cukup terhadap apa yang Allah karuniakan." [HR. Muslim  dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anha]

Wallahu a'lam bishowab.

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 02 vol. 01 1432 H/2011 M

Minggu, 05 Mei 2013

Tiga Kalbu


Kalbu adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan kalbu inilah Allah istimewakan manusia dari makhluk lain. Agar dengannya manusia sebagai makhluk sosial bisa berinteraksi dengan baik. Bergaul dengan baik, saling mencintai dan mengasihi, membalas kebaikan orang lain, ikut merasakan beban saudaranya dan yang lainnya. Sebagaimana nikmat yang lainnya, nikmat kalbu tentu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan kalbu, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS Al-Isra’: 36]

Nah, kita sebagai seorang manusia dan hamba Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui, bahwa sudah pasti kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita ucapkan, kita kerjakan serta penggunaan anggota badan lainnya yang Allah ciptakan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, sudah sepantasnya kita untuk mempersiapkan jawabannya, yang tidak lain adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk menghambakan diri kepada Allah, mengikhlaskan agama untuk-Nya semata serta mengekang anggota badan tersebut dari segala yang Allah haramkan.

Hikmah Penciptaan Kalbu
Wahai para pembaca yg semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala...
Sebenarnya Allah subhanahu wa ta’ala  menciptakan kalbu agar manusia mencintai-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya semata. Inilah fitrah yang Allah ciptakan manusia padanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. (Tetapkanlah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS Ar-Rum: 30]
Wahai para pembaca..., Allah subhanahu wa ta’ala telah meletakkan dalam akal manusia pengetahuan terhadap kebaikan Islam, Iman dan Ihsan. Sekaligus pengetahuan tentang kejelekan lawannya. Karena sesungguhnya seluruh hukum-hukum syariat baik yang lahir maupun batin telah Allah letakkan dalam kalbu seluruh hamba-Nya serta kecondongan kepada hukum-hukum syariat tersebut.
Allah Ta’ala juga meletakkan dalam kalbu mereka kecintaan terhadap kebenaran sekaligus sikap mendahulukannya daripada yang lainnya. Inilah hakekat fitrah. Siapa saja yang keluar dari pokok ini, penyebabnya adalah penghalang yang menghalangi dan merusak fitrah ini. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak terlahir di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Macam-macam Kalbu
1.        Kalbu yang Sehat
Kalbu inilah yang akan selamat pada hari Kiamat kelak, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak lagi berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang selamat.” [QS As-Syuara’: 88-89]
Yaitu kalbu yang selamat dari nafsu yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Selamat dari syubhat (berbagai kerancuan berpikir tentang agama) yang menghalangi dan merusak kesehatan kalbu. Selamat pula dari peribadahan kepada selain-Nya. Murni beribadah kepada Allah semata dengan penuh harapan, kecintaan, tawakal, dan kembali sepenuhnya kepada Allah. Ketika mencintai, cinta karena Allah, ketika harus membenci, benci karena Allah. Tunduk patuh terhadap Rasul-Nya, tidak mendahulukan siapapun atas Allah dan Rasul-Nya dalam perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin.
2.        Kalbu yang Mati
Kalbu ini lawan dari kalbu yang sehat. Kalbu ini tidak mengenal Rabb-nya, apalagi untuk beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Kalbu yang tidak pernah cinta dan ridha kepada-Nya, bahkan tenggelam dalam nafsu syahwatnya. Tidak peduli dengan apapun walaupun menyebabkan kemurkaan Rabb-nya. Hawa nafsu sebagai pemimpinnya, kebodohan sebagai penuntunnya dan lalai sebagai tunggangannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan kalbunya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan maksud dari menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan adalah orang yang setiap menginginkan sesuatu pasti ia melakukannya. Diperbudak oleh nafsu. Sebagaimana penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam Malik rahimahullah seperti yang dinukilkan dari tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.
Kalbu yang dipenuhi dengan nafsu dunia semata. Tidak pernah dan tidak mau mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya, kalbu yang tunduk dan patuh kepada syaithan. Berbaur dengan kalbu semacam ini adalah penyakit, bergaul dengannya adalah racun dan mendekat akrab dengannya adalah kebinasaan.
3.        Kalbu yang Sakit
Yaitu kalbu yang masih memiliki kehidupan tetapi terjangkiti oleh penyakit. Kondisi kalbu ini tergantung mana yang paling kuat antara inti kehidupannya dan penyakitnya. Kecintaannya kepada Allah, keimanan, keikhlasan, dan tawakalnya kepada Allah adalah unsur kehidupannya.
Kecondongannya terhadap syahwat, kecenderungannya untuk mendahulukan syahwat, hasad, kibr (meremehkan orang lain), sombong dan bangga diri adalah akar kebinasaan dan kehancurannya. Kalbu ini ditarik dari dua arah. Yang mengajak kepada Allah dan Rasul-Nya serta akhirat, sekaligus penyeru yang selalu berusaha menyeru kepada dunia dan kebinasaan.

Demikianlah..., hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu’, tawadhu’, lembut, dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat dengan keselamatan, kadang-kadang dekat dengan kebinasaan.
Wahai para pembaca...
Kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
Musibah (fitnah) itu masuk ke dalam hati seperti dianyamnya tikar, sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menerimanya akan tertitiklah padanya setitik noda hitam. Hati di manapun yang menolaknya akan tertitiklah padanya setitik cahaya putih. Akhirnya, hati akan terbagi menjadi dua. Hati yang hitam legam cekung seperti gayung yang terbalik, tidak mengenal kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, selain yang dikehendaki hawa nafsunya; dan hati putih bercahaya yang tidak akan tertimpa madharat fitnah, selama langit dan bumi masih ada.” [HR. Muslim]
Semoga Allah Ta’ala senantiasa mengkaruniakan kepada kita kalbu yang sehat, kalbu yang istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya hingga bertemu dengan-Nya. Aamiin.

Wallahu a’lam bishowab.

Sumber:

  • Majalah Tashfiyah ed 02/volume 1/1432 H/2011 M
  • Buku Panduan Studi Islam Intensif (SII) XII SMA Negeri 1 Surakarta 1433 H/2012 M

Sabtu, 27 April 2013

Ganasnya Syirik


Syirik merupakan dosa paling besar, kezaliman yang paling zalim, dosa yang tidak akan diampuni Allah, dan pelakunya diharamkan masuk surga serta seluruh amal yang pernah dilakukannya selama di dunia akan hangus dan sia-sia. Oleh sebab itu mengenal hakekat syirik dan bahayanya adalah perkara yang sangat penting.



Hakekat syirik
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai umat manusia, sembahlah (Allah) Rabb yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dia itu lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia pula yang telah menurunkan air hujan dari langit sehingga mampu mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah sedangkan kalian mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 21-22].
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala menyatakan secara tegas yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” [QS. An-Nisaa’: 36].
Dari ayat-ayat tersebut kita mengetahui bahwa Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk berbuat syirik atau mengangkat tandingan bagi Allah, yaitu menyembah selain Allah di samping menyembah Allah. Dengan demikian ibadah adalah salah satu kekhususan yang hanya boleh ditujukan kepada Allah, karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah perbuatan syirik.

Bahaya Syirik
1.    Dosa yang paling besar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” [QS. An-Nisaa’: 48].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Dengan ayat ini maka jelaslah bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuninyca bagi orang yang tidak bertaubat darinya…” [Fathul Majid].
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Maka beliau menjawab, “Yaitu engkau mengangkat tandingan/sekutu bagi Allah (dalam beribadah) padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu.” [HR. Bukhari dan Muslim].
2.    Kezaliman yang paling zalim
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan,[QS. Al-Hadiid: 25].
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di dalam ayat ni Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia menegakkan al-qisth yaitu keadilan. Salah satu nilai keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan yang terbesar dan pilar penegaknya. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil.
Perhatikanlah firman Allah yang mulia yang mengisahkan nasehat seorang ayah yang bijak kepada puteranya, yang artinya, “Wahai puteraku, janganlah berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” [QS. Luqman: 13].
3.    Pelanggaran terhadap hak Sang pencipta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah?” Maka Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Rasul bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa hamba yang tidak mepersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hak yang harus ditunaikan oleh para hamba. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak yang paling agung.” [Hushul Al Ma’mul]
4.    Dosa yang tak terampuni
Seandainya seorang hamba berjumpa dengan Allah ta’ala dengan dosa sepenuh bumi niscaya Allah akan mengampuni dosa itu semua, akan tetapi tidak demikian halnya bila dosa itu adalah syirik. Allah ta’ala berfirman melalui lisan Nabi-Nya dalam sebuah hadits qudsi, “Wahai anak Adam, seandainya engkau menjumpai-Ku dengan membawa dosa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku, niscaya Akupun akan menjumpaimu dengan ampunan sepenuh itu pula.” [HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah 127].
Bahkan, di dalam Al-Qur’an, Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah tingkatan syirik bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya,” [QS. An-Nisaa’: 48].
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni dosa syirik, artinya Dia tidak mengampuni hamba yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan musyrik, dan (Dia mengampuni dosa yang dibawahnya bagi orang yang dikehendaki-Nya); yaitu dosa-dosa (selain syirik-pent) yang akan Allah ampuni kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya.” [Tafsir Ibnu Katsir].
5.    Kekal di dalam neraka
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” [QS. Al-Bayyinah: 6].
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya, niscaya masuk surga. Dan barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan memepersekutukan sesuatu dengan-Nya, maka dia masuk neraka.” [HR. Muslim].
6.    Pemusnah pahala amalan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya ?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Qur’an. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena-Mu.” Allah berfirman, ”Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Qur’an supaya disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” [HR. Muslim].
7.    Kehilangan rasa aman dan petunjuk
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.[QS. Al An’aam: 82].
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ketika ayat ini diturunkan para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya?” Maka Rasulullah pun menjawab, ”Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna,”Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya,”Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar”.” [HR. Bukhari].

Semoga Allah menyelamatkan diri kita dari bahaya syirik, yang tampak maupun yang tersembunyi.
Wallahu a’lam bishowab.

Selasa, 09 April 2013

Wanita Tukang Sisir Anak Putri Fir'aun

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ketika malam aku di isra' kan aku mencium bau yang sangat wangi, aku bertanya, 'Wahai Jibril, bau apakah ini?' Jibril menjawab, 'Ini adalah bau wangi tukang sisir anak perempuan Fir'aun dan anak laki-laki tukang sisir itu.' Aku bertanya, 'Bagaimana bisa demikian?' Jibril menjawab, 'Ketika ia menyisir rambut anak putri Fir'aun tiba-tiba sisirnya jatuh kemudian wanita itu mengambilnya denga membaca Bismillah. Anak putri Fir'aun berkata, 'Hai, dengan nama bapakku.' Wanita tukang sisir menjawab, 'Tidak, Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu demikian juga Tuhan ayahmu.' Anak putri Fir'aun bertanya, 'Kalau begitu kamu punya Tuhan selain ayahku?' Wanita tukang sisir itu menjawab, 'Ya.' Anak putri Fir'aun berkata, 'Akan aku laporkan pada ayahku.' Wanita tukang sisir menjawab, 'Silahkan!'

Kemudian anak putri Fir'aun memberitahukan kejadian ini kepada ayahnya dan akhirnya wanita tukang sisir dipanggil Fir'aun, dia bertanya, 'Wahai Fulanah, betulkah kamu mempunyai Tuhan selain aku?' Wanita tukang sisir menjawab, 'Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.'

Kemudian Fir'aun memerintahkan untuk mempersiapkan periuk besar dari tembaga untuk dipanaskan. Satu persatu anak wanita tukang sisir itu mulai dilemparkan ke dalam periuk yang mendidih.

Beberapa saat kemudian, wanita tukang sisir mengajukan permohonan kepada Fir'aun, dengan berkata, 'Ada satu permintaan dariku.' Fir'aun menjawab, 'Apa permintaanmu?' Wanita tukang sisir menjawab, 'Aku ingin tulang tubuhku dan tulang-tulang anak lelakiku kelak dibungkus dalam satu kain untuk kemudian dikuburkan.' Fir'aun menjawab, 'Akan aku penuhi permintaanmu.'

Anak-anak lelaki tukang sisir itu masih terus dilemparkan ke dalam periuk mendidih hingga terakhir kalinya tiba giliran anak yang masih menyusu. Pada saat itu wanita tukang sisir nampak ragu-ragu, tetapi tiba-tiba bayi yang masih menyusu itu berkata, 'Wahai ibuku, ceburkan diri ibu ke dalam periuk yang mendidih itu, karena sesungguhnya siksa dunia ini jauh lebih ringan dibanding siksa akhirat'."
[HR. Ahmad, 3/309; ath-Thabrani dalam al-Kabir, 12279, 12280; Ibnu Hibban, 2892, 2893]
Pelajaran yang dapat dipetik :

  1. Anjuran untuk tetap sabar dan teguh ketika muncul fitnah dan pada saat genting.
  2. Balasan itu sesuai dengan jenis amal yang dikerjakan.
  3. Bagi yang bersabar dalam memegang teguh agama dan tidak takut dicela orang niscaya memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas." [Az-Zumar: 10]
  4. Seorang muslim diperbolehkan mengajukan permintaan yang mengandung kebaikan sekalipun kepada thaghut, sebagaimana kisah ini. Wanita tukang sisir anak gadis Fir'aun meminta agar tulang tubuhnya dan anak-anaknya dikubur menjadi satu.
  5. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberi jalan keluar untuk para wali-Nya dari musibah atau bencana yang menimpa.
  6. Ketetapan karamah Allah yang diberikan bagi orang shalih dan shalihah.
  7. Karamah termasuk dalam kategori peristiwa langka dan luar biasa.
Subhanallah...

Sumber:
61 Kisah Pengantar Tidur - Muhammad bin Hamid Abdul Wahab

Sabtu, 06 April 2013

Tiga Orang yang Suka Pamer


Sungguh tragis, orang yang beramal namun tak ikhlas. Segala upaya, daya, dan harta yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Semuanya justru menjadi petaka ketika akhirat tiba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang kali pertama diberi keputusan pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid. Lalu ia didatangkan di hadapan Allah. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan-Nya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah pun berfirman: 'Apa yang kamu kerjakan padanya?'
Ia berkata: 'Aku berperang karena diri-Mu, hingga aku mati syahid.'
Allah Ta’ala berfirman: 'Engkau telah berdusta. Sesungguhnya engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan hal itu telah dikatakan.'
Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa lalu diseret mukanya hingga ia dilemparkan ke neraka.
Lalu seseorang yang belajar suatu ilmu kemudian mengajarkannya, dan membaca AlQur'an lalu didatangkan di hadapan Allah. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan-Nya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah pun berfirman: 'Apa yang kamu kerjakan padanya?'
Ia menjawab: 'Aku mempelajari suatu ilmu dan mengajarkannya serta membaca AlQur'an karena-Mu.'
Allah berfirman: 'Engkau berdusta. Sebenarnya, engkau mempelajari suatu ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur'an agar dikatakan bahwa engkau adalah orang yang ahli membaca. Dan hal itu telah dikatakan.'
Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa lalu diseret mukanya hingga ia dilemparkan ke api neraka.
Lalu ada seorang yang telah Allah berikan kepadanya kelapangan dan berbagai macam harta. Kemudian Allah memperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatanNya yang diberikan kepadanya. Lalu orang tersebut mengakuinya. Allah Ta’ala pun berfirman: 'Apa yang kamu kerjakan padanya?'
Ia menjawab: 'Tidak ada suatu jalan yang Engkau senang untuk diberi infak kecuali aku telah mengeluarkan infak padanya demi Engkau.'
Allah berfirman: 'Engkau telah berdusta. Tapi engkau melakukannya agar dikatakan sebagai orang yang dermawan dan hal itu telah dikatakan.'
Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, lalu diseret mukanya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka." [HR. Muslim]

Penjelasan
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai orang yang pertama kali diberi keputusan pada Hari Kiamat itu menceritakan tentang tiga golongan : pelajar, orang yang berperang, dan orang yang bersedekah.
Si pelajar mempelajari suatu ilmu, mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. Kemudian Allah mendatangkannya pada Hari Kiamat dan memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya yang diberikan kepadanya dan ia pun mengakuinya. Lalu Allah bertanya kepadanya: "Apa yang telah engkau lakukan?" yakni dalam mensyukuri kenikmatan ini. Maka ia berkata: "Aku mempelajari dan membaca Al-Qur'an karena Engkau." Lalu Allah berkata kepadanya: "Engkau telah berdusta. Tapi engkau belajar agar dikatakan sebagai orang yang alim dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan orang yang pandai membaca, bukan karena Allah. Tapi karena ingin dilihat orang."
Kemudian diinstruksikan untuk dibawa lalu diseret wajahnya ke dalam api neraka. Ini adalah dalil yang menunjukkan wajib bagi seorang penuntut ilmu agar mengikhlaskan niatnya untuk Allah. Ia tidak mempedulikan apakah orang-orang menyebutnya "orang 'alim", "syaikh", "ustadz", "mujtahid", atau yang sejenisnya. Ini tidaklah penting baginya. Tak ada yang penting baginya, kecuali ridha Allah, menjaga syariat, mengajarkannya, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari hamba-hamba Allah. Dengan demikian, tertulis baginya pahala syahid yang kedudukannya berada setelah kedudukan orang-orang yang jujur.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih." [An-Nisa: 69]
Adapun orang yang belajar bukan untuk tujuan hal tersebut, yaitu agar ia dikatakan sebagai orang yang 'alim, seorang mujtahid, orang yang sangat berilmu, dan yang serupa dengannya maka amalannya akan hilang. Na'udzubillah. Ia adalah orang yang pertama diberikan keputusan dan diseret wajahnya ke dalam api neraka dan didustakan serta dijelekkan pada Hari Kiamat.
Orang yang kedua adalah orang yang berperang. Ia berperang di jalan Allah kemudian terbunuh. Pada Hari Kiamat, ia akan datang kepada Allah Ta'ala kemudian Allah perlihatkan kepadanya nikmat-Nya yang telah diberikan kepadanya. Lalu ia mengetahui kenikmatan tersebut yaitu Allah panjangkan umurnya, mempersiapkannya, memberikan rizki, dan kekuatan kepadanya, hingga akhirnya ia sampai kepada tingkatan ini yaitu berperang. Kemudian ia ditanya: "Apa yang engkau perbuat dengan kenikmatan tersebut?"
Ia menjawab: "Wahai Rabbku aku berperang karena-Mu." Maka dikatakan kepadanya: "Engkau telah berdusta, engkau berperang agar dikatakan sebagai orang yang pemberani dan hal ini telah  dikatakan." Kemudian diperintahkan agar ia dibawa dan diseret wajahnya ke api neraka.
Allah Ta'ala berfirman: "Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut." [An-Nisa: 76]
Tetapi jika seseorang berperang karena kesukuan dan nasionalisme dibandingkan dengan untuk melindungi tanah air dari kejahatan orang-orang kafir, maka ini adalah berjuang di jalan Allah. Sebab, melindungi negara kaum muslimin buahnya adalah kalimat Allah yang akan jadi paling tinggi. Tetapi jika seseorang berperang agar ia dapat terbunuh saja dalam peperangan tersebut, apakah ia berada di jalan Allah?
Jawabnya adalah: "Tidak." Inilah niat kebanyakan para pemuda. Mereka pergi dengan tujuan agar mereka terbunuh dan berkata: "Kami berperang dan terbunuh sebagai orang yang syahid." Maka dikatakan: "Tidak." Hendaknya kalian pergi berperang agar kalimat Allah menjadi paling tinggi, walaupun harus tetap demikian. Jangan kalian pergi, dengan niat semata perang. Tapi pergilah dengan niat meninggikan kalimat Allah menjadi paling tinggi. Dengan demikian, jika terbunuh, kalian berada di jalan Allah.
Adapun orang yang ketiga adalah orang yang Allah berikan kenikmatan kepadanya dengan harta. Ia bersedekah, memberi, dan berinfak. Pada Hari Kiamat, ia dihadapkan kepada Allah dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepadanya. Ia mengakuinya. Lalu Allah bertanya kepadanya: "Apa yang engkau lakukan terhadap kenikmatan itu?"
Ia menjawab: "Aku bersedekah dan melakukan ini dan ini." Maka dikatakan kepadanya: "Engkau telah berbohong. Engkau melakukannya agar dikatakan bahwa si fulan adalah orang yang dermawan dan mulia. Hal itu telah dikatakan." Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa lalu diseret wajahnya ke dalam api neraka. Orang ini termasuk dalam tiga golongan yang dibakar api neraka pada Hari Kiamat.
Di sini terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya seseorang untuk mengikhlaskan niat bagi Allah dalam setiap yang ia berikan, berupa harta, badan, ilmu, dan lainnya. Jika ia melakukan sesuatu yang diharamkan untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta'ala lalu ia simpangkan kepada yang lainnya maka ia telah berdosa.

Wallahu a’lam bishowab.

Sumber: Majalah 'Izzuddin SMA Negeri 1 Surakarta ed 70 th 2009