Jumat, 10 Mei 2013

Jangan Mengeluh

Mencari rezeki adalah pintu-pintu pahala bagi seorang muslim. Peluh keringat capeknya bekerja keras adalah keutamaan baginya. Betapa tidak, jangankan letih yang dirasa, gundah yang kadang datang pun merupakan penghapus dosa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira ini dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, "Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa capek, sakit, gundah, kesedihan, gangguan, gelisah bahkan duri yang mengenainya kecuali Allah gugurkan dengan sebab itu kesalahan-kesalahannya." [HR. Bukhari]

Apalagi ketika disertai sikap sabar, pahalanya akan semakin besar dan berlipat. Ibnul Qayyim mengatakan, "Sesungguhnya balasan yang didapat karena musibah yang dialami adalah dihapuskannya dosa-dosa saja, kecuali ketika musibah tersebut sebagai sebab amal shalih seperti sabar, ridha, taubat dan istighfar, maka ia akan mendapatkan pahala dari amalan shalih yang dilakukan dalam menyikapi musibah tersebut". [dinukilkan dari Fathul Majid]

Di antara bentuk sabar adalah tidak mengatakan 'seandainya', ketika Allah menunda keberhasilannya dalam usaha, karena hal ini akan membuka pintu syaithan untuk ikut campur dan memperkeruh masalah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda, "Apabila kalian tertimpa sesuatu, jangan katakan, 'Seandainya saya melakukan ini, tentu hasilnya akan demikian dan demikian', tetapi katakan, 'qadarallahu wamaa syaa fa'ala (Allah telah menakdirkannya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan Allah kerjakan)', karena ucapan 'seandainya' akan membuka pintu bagi syaithan." [HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]

Penyesalan semacam ini hanya akan menambah beban masalah, menyebabkan patah semangat dan malas bekerja. Apalagi ketika syaithan mengambil kesempatan ini, maka tauhidnya akan digerogoti. Karena kata-kata ini menunjukkan adab yang jelek terhadap Allah dan takdir-Nya, seolah-olah sanggahan yang mengandung penentangan terhadap takdir Allah dan lemahnya keimanan orang tersebut terhadap qadha' dan qadar.
Seorang mukmin akan tetap yakin bahwa apapun hasil usaha yang didapat, itulah yang terbaik baginya, karena semuanya atas kehendak Allah Yang Maha Dermawan lagi Maha Bijaksana.

Allah pilihkan yang paling bermanfaat baginya, sehingga akan selalu bersyukur atas karunia-Nya, senantiasa tumbuh tawakal kepada-Nya, tetap optimis setelah diserahkan kepada-Nya kemudian bangkit dan berusaha kembali.

Sangat wajar, kesedihan itu ada, kegalauan muncul ketika usaha kerasnya belum membuahkan hasil, tetapi seorang mukmin akan mengembalikannya kepada Allah, mengadu dan memohon solusi kepada-Nya, ridha dengan qadha' dan taqdir Allah.

Setelah bersungguh-sungguh dalam mendapatkan kemaslahatan, kemudian mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan jangan beranggapan bahwa hal ini hanya karena strategi yang salah. Tetapi justru seharusnya dia menerima ketetapan Allah, bertambah keimanannya, tenang hati dan jiwanya.

Solusi sikap yang diberikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah sebab terbesar untuk mendapatkan kedamaian hati dan sifat qona'ah (merasa cukup). Dan inilah keberuntungan yang hakiki sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan, "Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi kecukupan rezeki dan merasa cukup terhadap apa yang Allah karuniakan." [HR. Muslim  dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anha]

Wallahu a'lam bishowab.

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 02 vol. 01 1432 H/2011 M

Minggu, 05 Mei 2013

Tiga Kalbu


Kalbu adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan kalbu inilah Allah istimewakan manusia dari makhluk lain. Agar dengannya manusia sebagai makhluk sosial bisa berinteraksi dengan baik. Bergaul dengan baik, saling mencintai dan mengasihi, membalas kebaikan orang lain, ikut merasakan beban saudaranya dan yang lainnya. Sebagaimana nikmat yang lainnya, nikmat kalbu tentu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan kalbu, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS Al-Isra’: 36]

Nah, kita sebagai seorang manusia dan hamba Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui, bahwa sudah pasti kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita ucapkan, kita kerjakan serta penggunaan anggota badan lainnya yang Allah ciptakan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, sudah sepantasnya kita untuk mempersiapkan jawabannya, yang tidak lain adalah dengan menggunakan nikmat tersebut untuk menghambakan diri kepada Allah, mengikhlaskan agama untuk-Nya semata serta mengekang anggota badan tersebut dari segala yang Allah haramkan.

Hikmah Penciptaan Kalbu
Wahai para pembaca yg semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala...
Sebenarnya Allah subhanahu wa ta’ala  menciptakan kalbu agar manusia mencintai-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya semata. Inilah fitrah yang Allah ciptakan manusia padanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. (Tetapkanlah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS Ar-Rum: 30]
Wahai para pembaca..., Allah subhanahu wa ta’ala telah meletakkan dalam akal manusia pengetahuan terhadap kebaikan Islam, Iman dan Ihsan. Sekaligus pengetahuan tentang kejelekan lawannya. Karena sesungguhnya seluruh hukum-hukum syariat baik yang lahir maupun batin telah Allah letakkan dalam kalbu seluruh hamba-Nya serta kecondongan kepada hukum-hukum syariat tersebut.
Allah Ta’ala juga meletakkan dalam kalbu mereka kecintaan terhadap kebenaran sekaligus sikap mendahulukannya daripada yang lainnya. Inilah hakekat fitrah. Siapa saja yang keluar dari pokok ini, penyebabnya adalah penghalang yang menghalangi dan merusak fitrah ini. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak terlahir di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Macam-macam Kalbu
1.        Kalbu yang Sehat
Kalbu inilah yang akan selamat pada hari Kiamat kelak, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak lagi berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang selamat.” [QS As-Syuara’: 88-89]
Yaitu kalbu yang selamat dari nafsu yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Selamat dari syubhat (berbagai kerancuan berpikir tentang agama) yang menghalangi dan merusak kesehatan kalbu. Selamat pula dari peribadahan kepada selain-Nya. Murni beribadah kepada Allah semata dengan penuh harapan, kecintaan, tawakal, dan kembali sepenuhnya kepada Allah. Ketika mencintai, cinta karena Allah, ketika harus membenci, benci karena Allah. Tunduk patuh terhadap Rasul-Nya, tidak mendahulukan siapapun atas Allah dan Rasul-Nya dalam perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin.
2.        Kalbu yang Mati
Kalbu ini lawan dari kalbu yang sehat. Kalbu ini tidak mengenal Rabb-nya, apalagi untuk beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Kalbu yang tidak pernah cinta dan ridha kepada-Nya, bahkan tenggelam dalam nafsu syahwatnya. Tidak peduli dengan apapun walaupun menyebabkan kemurkaan Rabb-nya. Hawa nafsu sebagai pemimpinnya, kebodohan sebagai penuntunnya dan lalai sebagai tunggangannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan kalbunya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan maksud dari menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan adalah orang yang setiap menginginkan sesuatu pasti ia melakukannya. Diperbudak oleh nafsu. Sebagaimana penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam Malik rahimahullah seperti yang dinukilkan dari tafsir Ibnu Katsir rahimahullah.
Kalbu yang dipenuhi dengan nafsu dunia semata. Tidak pernah dan tidak mau mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya, kalbu yang tunduk dan patuh kepada syaithan. Berbaur dengan kalbu semacam ini adalah penyakit, bergaul dengannya adalah racun dan mendekat akrab dengannya adalah kebinasaan.
3.        Kalbu yang Sakit
Yaitu kalbu yang masih memiliki kehidupan tetapi terjangkiti oleh penyakit. Kondisi kalbu ini tergantung mana yang paling kuat antara inti kehidupannya dan penyakitnya. Kecintaannya kepada Allah, keimanan, keikhlasan, dan tawakalnya kepada Allah adalah unsur kehidupannya.
Kecondongannya terhadap syahwat, kecenderungannya untuk mendahulukan syahwat, hasad, kibr (meremehkan orang lain), sombong dan bangga diri adalah akar kebinasaan dan kehancurannya. Kalbu ini ditarik dari dua arah. Yang mengajak kepada Allah dan Rasul-Nya serta akhirat, sekaligus penyeru yang selalu berusaha menyeru kepada dunia dan kebinasaan.

Demikianlah..., hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu’, tawadhu’, lembut, dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat dengan keselamatan, kadang-kadang dekat dengan kebinasaan.
Wahai para pembaca...
Kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
Musibah (fitnah) itu masuk ke dalam hati seperti dianyamnya tikar, sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menerimanya akan tertitiklah padanya setitik noda hitam. Hati di manapun yang menolaknya akan tertitiklah padanya setitik cahaya putih. Akhirnya, hati akan terbagi menjadi dua. Hati yang hitam legam cekung seperti gayung yang terbalik, tidak mengenal kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, selain yang dikehendaki hawa nafsunya; dan hati putih bercahaya yang tidak akan tertimpa madharat fitnah, selama langit dan bumi masih ada.” [HR. Muslim]
Semoga Allah Ta’ala senantiasa mengkaruniakan kepada kita kalbu yang sehat, kalbu yang istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya hingga bertemu dengan-Nya. Aamiin.

Wallahu a’lam bishowab.

Sumber:

  • Majalah Tashfiyah ed 02/volume 1/1432 H/2011 M
  • Buku Panduan Studi Islam Intensif (SII) XII SMA Negeri 1 Surakarta 1433 H/2012 M