Minggu, 16 September 2012

Pentingnya Niat

Para pembaca yang budiman...
Kalau membahas niat, tentu kita tidak lepas dari hadits arba'in yang pertama  (yang artinya):

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, 'Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap seseorang itu mendapat balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ia cari atau perempuan yang akan ia  nikahi maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrahi." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Mungkin, terkadang kita menganggap niat itu tidak penting dan terkadang kita malah melupakan hal tersebut. Namun perlu kita ketahui bahwa, diterimanya amal atau tidak, itu tergantung niatnya. Seperti yang termuat dalam hadits di atas "Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya." Jadi,  niat adalah sumber dari benarnya suatu amal. Karena jika niat itu benar maka amal pun akan benar pula, sebaliknya kalau niatnya rusak maka amalnya pun ikut rusak. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam hadits di atas "Barangsiapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ia cari atau perempuan yang akan ia  nikahi maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrahi."



Lantas bagaimana apabila kita melaksanakan amal untuk mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus? Sebagian ulama' berpendapat bahwa suatu amal ibadah yang dilaksanakan untuk mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus, maka amalnya tertolak. Dalilnya adalah Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam hadits Qudsi (yang artinya):

"Allah berfirman : "Aku-lah yang paling tidak membutuhka sekutu, maka barangsiapa yang melakukan suatu amal yang ada kesyirikan di dalamnya aku berlepas diri darinya." (HR Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, At Tayalisi dari Abu Hurairah)

Atau dengan kata lain ketika kita melakukan suatu amalan haruslah dengan niat ikhlas semata mengharap ridho Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Maka Al Harits Al Muhasibi berpendapat dalam kitab Ar Ri'ayah, "Yang disebut ikhlas adalah apa yang engkau kehendaki dari amalmu tiada lain karena ketaatan kepada-Nya, bukan yang lain." Jadi, dalam beramal haruslah dengan niat yang benar-benar ikhlas dan terbebas dari riya' dan sum'ah.

Riya' yaitu mempertontonkan peribadatan atau keimanan seseorang. Adapula yang disebut sum'ah, yaitu memperdengarkan peribadatannya. Orang yang mencampuradukkan keimanan mereka terhadap Allah Yang Maha Agung dengan riya' dan sum'ah bisa jadi mengeluarkan mereka dari keIslaman, tapi umumnya tidak sampai mengeluarkan mereka dari keIslaman. Tergantung seberapa besar "penyakit"nya.

Al Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah menerangkan. "Ketahuilah bahwa amal untuk selain Allah ada banyak macamnya. Terkadang riya' murni, seperti perilaku orang-orang munafiq (orang-orang yang dahulu di zaman Nabi berpura-pura keIslamannya agar selamat dan mendapat kedudukan di tengah masyarakat) sebagaimana firman Allah Ta'ala, (yang artinya) "Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali." (QS An-Nisaa' : 142)

Jadi, intinya adalah niat merupakan syarat diterimanya ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Bila kita melakukan suatu amalan tanpa disertai niat, maka ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala.

Wallaahu a'lam bishowab.


Sumber :
Syarah Hadits Arba'in Imam Nawawi
Majalah Izzudin SMAN 1 Surakarta ed 79/Robiul Awwal 1433 H/Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar